Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Ada yang mengatakan, “Allah tidak membutuhkan pembelaan kita. Karena Allah Maha segalanya.” Begitu juga ada yang mengatakan tentang tidak perlunya pembelaan terhadap al-Qur’an, kalam Allah yang dinista, “Sejak dulu al-Qur’an telah dihina dan dinista, tapi semua penghinaan dan penistaan itu tidak bisa meruntuhkan kemuliaannya.” Pertanyaannya, benarkah Allah tak perlu dibela?
Pertama, pandangan atau pikiran seperti ini, menurut saya bukan pemikiran, siapapun yang mengatakannya, mau profesor, doktor, kyai, atau orang awam, lebih tepat pandangan seperti ini disebut fantasi intelektual. Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Karena, menggabungkan dua hal yang seharusnya dipisahkan, karena memang berbeda konteksnya.
Konteks “Allah Maha segalanya” dan “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” adalah konteks yang terkait dengan Allah dan kalam-Nya. Sedangkan membela dan menjaga kesuciannya adalah konteks kita, sebagai manusia. Memang benar, “Allah Maha segalanya” begitu juga “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” itu tidak akan berkurang sedikitpun, karena konteks ini adalah adalah konteks yang terkait dengan-Nya. Tetapi, salah, ketika konteks yang terkait dengan-Nya lalu dikaitkan dengan konteks kita, seolah ketika ke-Maha-an dan kemuliaan-Nya itu tetap akan sempurna, meski dinista, sehingga tidak perlu kita bela.
Karena itu, saya tegaskan, pandangan seperti ini hanyalah fantasi intelektual, bukan pemikiran. Karena bertentangan dengan fakta. Cara berpikir seperti ini juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis [Jabariyyah]. Cara berpikir Fatalis ini dalam sejarah sering kali digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meninabobokkan rakyat, agar mereka menerima saja penindasan yang dilakukan oleh rezim dengan alasan takdir.Karena itu, harus dipisahkan, antara “Allah Maha segalanya” dan “Al-Qur’an kalam Allah yang mulia” sebagai wilayah-Nya, dengan wilayah kita sebagai manusia untuk menjaga dan melindungi kemuliaan-Nya. Wilayah yang pertama adalah wilayah akidah, sedangkan wilayah yang kedua adalah wilayah [hukum] syariah.
Kedua, andai saja Allah, kalam dan agama-Nya tidak perlu dibela, Allah tentu tidak memerintahkan kita menjadi pembela-Nya:
ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا، كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai penolong-penolong Allah.” [Q.s. as-Shaf: 14]
Ketika kita membela-Nya, membela kalam-Nya, membela agama-Nya, memperjuangkan syariat-Nya, serta membantu para pejuang yang memperjuang agama-Nya, maka Dia akan menolong kita. Allah SWT berfirman:
ياَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian, dan meneguhkan kedudukan kalian.” [Muhammad: 7]
Imam ar-Razi menjelaskan, makna, “In tanshuru-Llah [jika kalian menolong Allah].” adalah menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariat-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkannya. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “al-Jaza’ jinsu al-‘amal [balasan itu sesuai dengan jenis amal yang diberikan].” Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.
Ketiga, andai Allah tidak perlu dibela, maka tidak akan pernah ada “Auliya’-Llah”. Karena adanya “Auliya’-Llah” merupakan konsekuensi, karena mereka menolong Allah. Di dalam al-Qur’an, mereka disebut “Auliya’-Llah [penolong/kekasih Allah].”, karena mereka membela Allah. Ketika mereka menjadi “Auliya’-Llah” maka Allah pun menjadi Wali [penolong/kekasih] mereka. Ketika Allah menjadi Wali mereka [Q.s. al-Baqarah: 257 dan an-Nisa’: 45], karena mereka telah menjadi “Auliya’-Llah”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah tegaskan:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ingatlah, sesungguhnya para pelindung/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri mereka, dan mereka pun tidak bersedih.” [Q.s. Muhammad: 62]
Allah juga menegaskan:
وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا، وَكَفَى بِاللهِ نَصِيْرًا
“Allah Maha Tahu akan musuh-musuh kalian. Cukuplah Allah menjadi pelindung, dan cukuplah Allah menjadi penolong.” [Q.s. an-Nisa’: 45]
Karena itu, para ulama’, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyatu al-Auliya’ dan al-Hafidz Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifatu as-Shafwah, menyenaraikan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabiin, atba’ tabiin, dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Auliya’-Llah”.
Keempat, andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah payah berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah, dan tidak perlu berperang bersama para sahabatnya melawan kaum Kafir lebih dari 79 kali, 27 kali di antaranya langsung dipimpin oleh baginda.
Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi berikutnya, baik yang di bawah kepemimpinan Khalifah, maupun bukan, adalah bukti bahwa para “Auliya’-Llah” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk membela Allah, agama dan kehormatannya.
Maka, ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristen Romawi, dia menjerit, “Wa Mu’tashimah [Wahai Mu’tashim, tolonglah!]”, pasukan Khalifah al-Mu’tashim pun meluluh lantakkan mereka, hingga Amuriah berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista, Sultan ‘Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan pementasan drama yang menista kemuliaan Nabinya, dan jika tidak, Khilafah ‘Ustmani akan melumat Inggris.
Semuanya itu bukti, bahwa “Auliya’-Llah” selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.
Tetapi, yang harus dicatat, al-Qur’an juga mencatat, bahwa selain “Auliya’-Llah” juga adalah “Auliya’ as-Syaithan [kekasih/pembela syaithan]”. Mereka inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya. Menghalangi dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya [Q.s. an-Nisa’: 67].
Jadi, jelas sudah. Allah, kalam-Nya, agama dan kesuciannya harus dibela, dijaga dan dilindungi. Karena ini merupakan kewajiban kita. Karenanya, ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah, sebagai “Auliya’-Llah”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penisnya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Auliya’ as-Syaithan”.Tinggal kita memilih yang mana, menjadi “Auliya’-Llah”, atau “Auliya’ as-Syaithan”.
0 comments:
Post a Comment