◄ Vice Versa ►

Sunday, November 13, 2011

Donald Trump, Point of View

Belakangan, ramai status tentang betapa bangganya seorang motivator asal Indonesia setelah bertemu dengan Donald Trump. Betapa bangganya dia ketika buku (well, claimed as best seller) nya dipegang Trump dan berdiri hanya setengah meter di hadapannya. Betapa ia begitu ingin menularkan 'kesuksesan' Trump melalui pesan2nya, yang disampaikan kepada followernya. Yang disayangkan adalah, pada akhirnya muncul komentar pada lovernya, "hebat euy!" Ayolah, di mana letak HEBATnya?

Bagi yang belum tahu siapa Donald Trump, saya akan memberi sedikit gambaran. Dikenal sebagai The Master of Deal, Trump adalah seorang kapitalis asal Amerika. Seorang Kristen taat. Pengusaha Real Estate, pemilik banyak usaha hiburan dan judi, memiliki acara reality show pribadi, dan penulis buku The Art of The Deal. Jika ingin tau siapa dibalik Organisasi Miss Universe, Miss USA, dan Miss Teen USA, maka Donald Trump-lah orangnya (usaha patungan bersama NBC Universal).

Mari kita lihat satu-satu. Seperti yang diketahui, kapitalis secara makna bukan hanya sekedar 'pemilik modal'. Namun, kapitalis adalah mereka yang berusaha untuk menjadi kaya raya, bagaimanapun caranya. Dia pemilik bisnis hiburan dan judi yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Juga pemilik organisasi Miss Universe yang mempertontonkan perempuan hanya dari fisik, 'memperdagangkan' tubuhnya, dan menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan terhadap laki-laki, (favoritnya kaum feminis dan liberal), sebagai mesin uang dari pengiklan, dan juga pencemar budaya muda mudi jaman sekarang.

Ini bagian paling pentingnya.

Tahukah kamu, bahwa Donald Trump secara terang-terangan mengatakan, "There's absolutely problem in Muslim?" dan mengatakan bahwa dalam Al Qur'an banyak sekali 'Negative vibes'?

Pada April 2011 (yang berarti berbulan-bulan lalu), Trump melakukan wawancara eksklusif dengan David Brody dari The Christian Broadcasting Network (CBN) News. Di sana  Trump mengakui bahwa ada 'masalah' serius pada muslim (radikal) di seluruh dunia. Trump mengatakan bahwa bisa saja dia berpura-pura mengatakan, "Tidak, tidak ada masalah terhadap Islam" hanya agar pandangannya dianggap diplomatis dan memihak ke semua kalangan. Tapi Trump mengatakan sebaliknya, karena menurutnya, jujur lebih baik karena walaupun kontroversial, orang-orang pasti sependapat dengannya.

Look what’s happening. Look what happened right here in my city with the World Trade Center and lots of other places. So I said it and I thought it was going to be very controversial but actually it was very well received. (Donald Trump).




Sekedar catatan tambahan, di Amerika sana, justru masyarakat banyak yang tidak menyukai Donald Trump. Salah satunya adalah faktor kenarsisannya yang sangat berlebih. (Dalam hal ini, kata narsis mungkin jadi benang merah kenapa motivator tadi dengan otak sebelah -karna hanya kanan yang dipakai- sangat bangga bertemu dengan Trump).

Di beberapa lain kesempatan, jangan dikatakan "ketika bertemu langsung dengannya, maka kita akan melihat Donald Trump yang berbeda". Karena, yah, begitulah politik bermain. Di waktu lain, di depan kita, Trump bisa saja berpura-pura (seperti yg diungkapkannya tadi), bahwa no hatred for muslim. 

Well, seorang kapitalis. Seorang yang terang-terangan mengatakan bahwa seluruh muslim harus bertanggung jawab terhadap runtuhnya WTC dan semua kekacauan yang berkaitan dengan 'terorisme'. Seorang politikan narsis.

Masih patutkah untuk dijadikan panutan? You seriously should think thousand times. Oh, no. Instead you should never think that way. Haters gonna hate.

Beratnya Generasi Islam Millenium Ketiga

Oleh Isfandiari Mahbub Djunaidi

Pemuda Islam, anak zaman millinneum ke tiga, punya tantangan berat betul. Mereka dihantui kenyataan serbasulit dan selaksa ganjalan. Sebut saja perang lahir batin melawan konsumerisme, egoisme, tuduhan generasi instant plus flower generation model baru. Khafilah model begini menghamba setia hedonisme penyilau hati. Coba simak salah satu kosmetiknya.Tayangan orkes di TV yang getol sampai malam. Benar-benar rajin! Saat hari khan berganti, layar kaca diisi sensualitas meliuk-liuk dan musik menghentak. Visualnyapun nggakmain-main, penuh kemewahan, emas dan platina sampai ke gigi artisnya. Paling menggoda, dancer bertubuh ramping bagai dewi kahyangan penghuni surga.

Itukah efek modernisasi?

Tunggu dulu! Warisan primitif tak mau ketinggalan set. Mereka sama-sama pede dengan melenggang di layar kaca. Oh seramnya melihat si Fulan menggelinjang dan berkeringat. Ia lantas disembur mbah dukun, bertingkah sebentar kemudian black-out. Sahibul hikayat, arwah mbah Fulan merasuki raganya. Sehabis iklan, masuk tayangan azimat berbagai fungsi, batu keramat atau memperbesar vital lewat cara ajaib. Lewat komentar dari mulut ke mulut dan promosi sekadarnya, semuanya jadi populer dan bergandengan mesra dengan budaya pop.

Soal kekerasan juga mesti masuk hitungan. Masih soal tayangan TV, berbagai kisah ajaib-tragis melanda ibu pertiwi. Anak bunuh ibu, tetangga berlaku asusila pada anak di bawah umur. Belum lagi kejadian konyol, santap mayat demi kedigdayaan. Yang pasti, serbuan psikologis ini menumbuhsuburkan klenik, amarah, penyempitan cakrawala sampai ketumpulan berpikir.

Ingin sekali menjerit dalam bahasa Sunda, hayu atuh brangus sisi negatif si Kabayan yang malas, mbah Jamrong yang bau menyan atau jawara lenong yang gampang marah. Kedah direformasi euy… Padahal untuk survive, generasi muda Islam wajib beli tiket, masuk ‘taman bermainnya’ kaum intelektual. Punya kejernihan hati dan tak berlaku kasar. Mereka (idealnya) adalah kaum yang bergegas, kasak-kusuk bedah buku, diskusi dan tetap menyuburkan semangat ijtihad dalam tindakan analytical minded .

Jika butuh panutan tak perlu (dulu) ‘lompat pagar’ mencari Bill Gates si multi biliuner atau The Master Of Deal, Donald Trump. Kalau bisa sih, jangan dulu sowan ke otaknya Stephens Hawkins. Tak ada salahnya menggali-korek ‘dapur sendiri’ para pengharum sejarah Islam ratusan tahun yang lalu. 

>>

Saturday, November 12, 2011

You're not the real boss

Beberapa waktu lalu, saya sempat bahas tentang bagaimana Facebook 'mengamati' segala 'timeline' kita. Ada beberapa teman yang memang terlihat Paranoid sehingga berkata, "HATI2! MARK ZUCKER NGELIATIN LO!" Bla bla bla. "FACEBOOK ALAT INTEL, dll"

Komentar saya, bisa saja media sosial jadi alat 'intel', hanya saja lebih kepada melihat situasi 'pergaulan' masyarakat, bukan intel dalam arti sebenarnya. Media Sosial bisa jadi alat pengawasan seseorang bagi seseorang yang lain. Misal, suami menginteli istri (kalo yang ini bisa dibilang kurang kepercayaan mungkin, ya), orangtua 'menginteli' anak-anaknya (yang mungkin kalau sekarang justru bisa jadi anak yang mengawasi kelakuan orangtua mereka bertindak di media sosial). Karena apa? Karena ketika seseorang sudah bergelut di media sosial, rasa showup dan membuka pribadi ke seluruh dunia itu bisa terjadi. Aib keluarga yang seharusnya ditutupi, bisa terbuka hanya dengan satu buah status.

Saking paranoidnya temen saya tadi, dia sampai gak berani pasang photo sendiri dan nama asli. Kalo saya pakai argumen ini, pasti gakkan kuat, haha, soalnya semenjak Facebook gak terima (lagi) nama asli saya (soalnya suka ganti2), Google+ gak mengakui juga, akhirnya semua socmed saya pakaikan nama pseudonim saja. :D Beberapa photo dipasang agar temen tau itu saya (untuk pajang diprofil siy sekali2, soalnya gak pedenya juga *ngeles* :p).

Akhirnya, saya hanya cengar cengir saja. Terakhir, saya kasih dia sebuah alamat namanya takethislollipop.com, untuk mainan. Di situs itu diberikan gambaran bagaimana seseorang memperhatikan profil facebook org lain, yang diilustrasikan dengan beberapa capturan dan profil kita. BAGUS! Menurut saya bagusnya karena itu hanya permainan teknologi. Tapi teman saya itu justru makin ketakutan (tapi tetep aja dia facebookan, haha!). Beberape rentet status 'ketakutan' tadi sampai penuh diwall-nya.

Hmm, sebegitu paranoidkah? Sebegitu pentingkah hingga harus merasa 'diinteli'? Kalau kasusnya seperti di awal saya ungkap (keluarga, anak, masalah pribadi, dll), mungkin ada yang salah dalam berkelakuan sehingga salting, jadinya khawatir ketahuan. :D

Daripada paranoidnya berlebihan, mungkin artikel berikut ini bisa jadi sedikit pencerahan, dan menjawab 'kekhawatiran' kebanyakan orang. Teman saya, kamu, bahkan saya juga pernah kok merasa begitu. Sekedar untuk mengurangi paranoid tadi, walau secara pribadi, bagi saya, SAH sah saja seseorang memakai nama lain di SocMednya, gak tampilin photo dia, gak mengungkap cerita pribadi dia, apapun alasannya. Bukan karena sok merasa diinteli, tapi karena memang cara mereka begitu dalam menjaga privacy mereka. Konsekuensinya? Gak diapprove pertemanan karena dianggap 'Hantu', bagi saya itu BUKAN MASALAH BESAR. :D Siapa situ? Pusat duniaaa? Haha!

Cekidot!


Friday, November 11, 2011

Tersenyumlah!

Biarkan orang-orang melihatmu tersenyum, karena memang kau sedang begitu. Jika terpaksa, maka kau boleh saja pura-pura, tanpa perlu orang tau alasannya apa.