◄ Vice Versa ►

Tuesday, December 19, 2006

Innalillahi wa Inna ilaihi ra'jiun


Wednesday, October 04, 2006

Bila Aku Jatuh Cinta

Ya Rabb, bila aku jatuh cinta.

Ya Allah, jika aku jatuh cinta,
cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu
agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu...

Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,
jagalah cinta ku padanya
agar tidak melebihi cintaku pada-Mu...

Ya Allah, jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu
agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu...

Ya Rabbana, jika aku jatuh hati,
jagalah hatiku padanya
agar tidak berpaling dari hati-Mu…

Ya Rabbul izzati, jika aku rindu,
rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu...

Ya Allah, jika aku rindu,
jagalah rinduku padanya
agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu...

Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,
janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-Mu..

Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh
dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu..

Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu...

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati hati ini telah terhimpun dalam cinta pada-Mu,
telah berjumpa dalam taat pada-Mu,
telah bersatu dalam dakwah pada-Mu dan telah terpadu dalam membela syariat-Mu,
penuhilah hati hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada dada kami dengan limpahan keimanan...

Amin... Amin... Ya Robbal Alamiiin...
(Doa muslim yang mendambakan pendamping hidup untuk menuju jalan-Nya).
10 September 2006.

Tuesday, September 26, 2006

HIKMAH sebuah SALAM

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Itulah kata pertama yang ingin saya sampaikan. Dan Insya Allah akan terus saya sampaikan. (Semoga kita bisa membiasakannya). Saya pernah mencoba merenungkannya. Berapa kali dalam sehari saya mengucapkan kata itu. Selain pada saat setelah shalat lima waktu. Hasilnya, astaghfirullah, jarang banget! Padahal, itu adalah salah satu tiket masuk surga.

10 September 2006.

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Kata ini sering kita dengar. Pada saat pembukaan pidato, masuk dan keluar ruangan, diskusi, mau menelepon teman, dan banyak lagi. Namun, salam amat jarang diucapkan kala kita bertemu dengan sesama muslim. Hm, setelah dipikir-pikir, dari diri saya sendiri, keengganan untuk mengucapkannya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, saya takut dibilang sok-sok an alim (padahal kita tidak dapat mengukur tingkat keimanan kita seperti apa, kan?). Kedua, saya merasa tidak kenal orang itu, buat apa saya tegur. Ketiga, kok yang muncul malah rasa malu kalo mengucapkannya ya? Keempat, kebiasaan ber-say hello dengan gaya centil, seperti, uy uy, oy oy, yey what’s up yow! (Waduh! Sok hiphop banget!). Kelima, dan saya pikir sebagian besar dari kita mengalami ini, yaitu enggak pernah kepikiran! Kita malah biasa mengucap met malam, kulonuwon, punten, permisi om (hehe, gak penting!).

Hgh! Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah...
Kok bisa ya, salam aja gak kepikiran. Setelah saya renungkan lebih jauh lagi, rasa enggak kepikiran itu ternyata ada penyebabnya juga. Yaitu saya tidak pernah berusaha membiasakannya. Coba kalo biasa, pasti kalo enggak mengucap salam akan janggal rasanya. Seperti makan nasi tanpa lauk. Hm, atau sayur tanpa garam. Atau pake sepatu gak pake kaos kaki. Pokoknya gak lengkap, deh! Penyebab lainnya adalah saya, kita, belum menyadari keajaiban dibalik kata salam.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwasanya ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw: Bagaimanakah Islam yang baik itu?” Beliau menjawab, “Yaitu mau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang belum kamu kenal.” (HR. Bukhari Muslim).

Loh, kok belum kenal dah disalam-salamin? Hm, mungkin justru karna belum kenal itulah Islam menganjurkan untuk mengucap salam. Yang gak kenal jadi kenal, yang udah kenal jadi lengket, deh.

Seperti yang disampaikan Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, ”…Maukah kamu sekalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu mengerjakannya maka kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kamu sekalian”. (HR Muslim).

Sudah pasti kita semua ingin mencintai dan dicintai. Dan hanya dengan salam kita bisa melakukan dua hal itu sekaligus. coba bayangkan, hanya dengan salam saja kita bisa saling cinta, bagaimana bila kita melakukan kebaikan yang lainnya? Tentunya lebih saling cinta lagi. Dan yang timbul dari itu semua adalah kedamaian. :)

Dari sekarang, yuk, kita sama-sama membiasakan diri. Mulai dari diri sendiri dulu. Baru kita bisa membantu muslim lainnya, saling mengingatkan.

Kalau saja salam itu disebarkan oleh wajah penuh senyuman, dihayati dan diresapi sebagaimana Abbas Assisi menyampaikan dalam surat-surat kepada sahabat-sahabatnya: Salaam Allah ‘alaika wa rahmatuhu wa barakaatuh. Sungguh damai dan nyaman, jika salam kita sampaikan sebagai ta’abbudan (ibadah) dan mahabbah (kecintaan), bukan sekedar kebiasaan. Salaam Allah yaa Akhwatii wa Ikhwatti, ya khalilii, wa rahmatuhu wa barakatuh. (Semoga Allah memberikan kedamaian, kasih mesra dan barakahNya untukmu saudaraku, sahabatku).

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!
(Sumber inspirasi: Al Quran, Internet, Buku)

Friday, July 28, 2006

Aku nge-blog, maka aku narsis.




Friday, April 07, 2006

Perenungan

Keinginan jadi Instruktur, juga sebenernya bukan tujuan akhir gw. Masih banyak mimpi yang pengen gw raih, gak mentok aja di sini. Tapi gw harap, walaupun gw freelance, gw berusaha memberikan yang terbaik (dengan harapan, gw juga pantas dapet yang 'terbaik'). (^__^)


Yang pertama, tentu aja keluarga. Mereka belum ada yang tau, selain My Sista. Gw emang gak pengen di nyebarin ini dulu, karena gw belum fix keterima.

Yang kedua, hgh, of course, my second family, and will always be my family, where ever, whenever. UKPM Teknokra. Duh, berat guys! Selama ini gw selalu sama kalian, saban malem nginep, tanpa peduli kelamin gw ini berjenis perempuan! Gw maen bareng, ampe ninggalin kuliah, ampe ninggalin kehidupan pribadi gw. But, i'll never regret it...

Ups! Jangan salah kira yah! Bukan berarti gw ngomong gini, tandanya gw bakalan ninggalin 'family' gw itu. Tapi, hanya pemberitahuan, dan keiklasan, dan keridhoan, dan kesediaan untuk merelakan manusiamu yang satu ini, yang kini sudah sadar bahwa dirinya perempuan, untuk tidak selalu bercengkrama.

Hm... banyak yang bertanya, apa alasannya?
Yeah, i knew it guys, it's all fake. Everything in this world is FAKE!!!

(^__^) Kok gw esmosi yah... :)

Monday, February 27, 2006

Perempuan Itu Adalah Ibuku

Sebagai tugas Kursus Jurnalisme Sastrawi
Jumat – Minggu, 24 – 26 Pebruari 2006

Perempuan Itu adalah Ibuku

Oleh Suci Gizela Pertiwi



SUARA motor berhenti perlahan. Sesosok perempuan bertubuh mungil muncul dari balik pintu berwarna coklat. Ia hanya mengeluarkan setengah badannya, seperti hendak mengintip siapa yang datang. Mengenakan baju biru bercorakkan bunga-bunga, dengan rambut panjang ikal pirang. Ia pun tersenyum.
“Mama kirain Papa,” ujar perempuan itu.

Ya, perempuan berkulit hitam manis dan berparas cantik itu adalah mamaku. Rumah kami kosong, mama muncul dari balik pintu rumah tetangga kami, yang tak lain adalah saudara kami sendiri.

“Ma, minta kuncinya, dong. Uci mau masuk,” sahut saya. Mama langsung menghampiri, dan membukakan pintu rumah.

“Emang kursusnya udah selesai?” tanya Mama sambil duduk di bangku semen depan rumah.

“Belum. Sekarang Uci mau ngetik tugas. Disuruh wawancara dulu,” jawab saya sambil mendirikan motor dan menggemboknya.

“Ya udah, ya. Mama lagi masak nih,” ujar mama sambil berjalan cepat ke rumah saudara.

“Ma! Uci wawancara mama aja, yah. Bingung nyari siapa yang mau diwawancara,” tanya saya agak berteriak.

“Ah! Kayak apa aja pake wawancara-wawancaraan segala,” Mama tetap nyelonong masuk tanpa menghiraukan pertanyaan seriusku.

Itulah sosok mama saya. Setiap hari, dimana aktivitas dilakukan, papa bekerja, adik sekolah, kakak mengajar, dan saya sendiri yang sering keluyuran, mama selalu menyambut kepulangan kami. Namanya Elly Christiani. Banyak yang mengira mama adalah orang nonmuslim, karena mendengar namanya. Namun, mama bercerita bahwa nama Christiani sendiri diambil dari nama seorang suster yang membantu persalinan mbah putri. Mama dilahirkan di Jakarta, menetap di sana hingga kelas lima SD. Sehingga tidak heran, bila mendengar gaya dan penggunaan kata-katanya dalam berucap, tidak akan membuat orang menyangka bahwa mama adalah wanita keturunan Jawa.

Menikah pada usia muda, 19 tahun, membuatnya tampak muda hingga sekarang. Namun, mama perempuan hebat. Pintar memasak aneka masakan. Pintar menjahit, yang kadang setiap Lebaran, kami –saya dan kakak saya- tidak perlu membeli baju baru, karena mama telah membuatkannya. Juga pintar mengutak-atik barang elektronik. Pernah suatu ketika radio di rumah kami rusak, mama pun iseng membetulkannya. Dan hasilnya, radio itu bahkan bisa dihubungkan dengan VCD player, bahkan komputer.

Setelah selesai mandi dan beres-beres, saya pun menghampiri mama yang sedang memasak di rumah saudara. Mama memang sering memasak di sana, karena selain membantu, mama juga mengurusi anak tante yang masih kecil. Tasya namanya.

“Tasya, jangan dipegang itu! Panas! Ayo ke sana dulu!” tangan kanan mama tetap menggoreng ikan asin, dan tangan kirinya smamak menghalangi Tasya yang masih berumur satu setengah tahun itu.

“ta ta...” Tasya menyahut. Seperti mengerti Tasya pergi ke depan televisi. Menontonnya dan tertawa kecil ketika muncul iklan Pampers. Tasya memang penikmat iklan, ketimbang film di televisi.

“Ma, kapan nih wawancaranya?” tanya saya.

“Lu nih enggak ngeliat apa. Emak lu nih lagi ngegoreng. Lu pegang Tasya aja dulu,” ujar mama sambil mengambil botol merica dan menuangkannya ke dalam panci sup. Seraya menghela napas, saya berjalan menghampiri Tasya. Rumah saudara saya memang selalu sepi. Papa Tasya adalah penjaga counter hp, yang counter-nya sendiri jadi satu dengan rumah saudara. Namun, karena harus selalu stand by, maka Tasya tidak dapat terpegang. Sementara mamanya, saat itu kebetulan sedang mandi.

Tentu saja, saat itu saya berpikir, pasti akan sangat lama menunggu mama selesai masak. Tugas kursus jurnalisme sastrawi, yang difasilitatori oleh Kak Turyanto, seorang alumni Teknokra, tidak akan dapat saya selesaikan tepat waktu. Terbersit rasa menyesal ketika memutuskan untuk pulang dan mengerjakannya di rumah.

Tiba-tiba Tasya ngompol di kasur yang ada di depan televisi. Anak itu tidak menangis, malah tertawa seakan-akan meledek.

“Aduh! Mama, mama, Tasya ngompol nih!” Adu saya.

“Tolong diurusin dong Ut,” pinta mama. Namun, tiba-tiba mama berdecak. Sambil langsung mematikan kompor, mama menggendong Tasya dan membawanya ke kamar mandi. Saya melihat ke kompor, rupanya masakan sudah jadi. Tinggal di bereskan saja. Saya pun mengangkat panci sup, dan menuangkannya ke dalam dua mangkuk yang memang sudah disediakan. Satu untuk rumah saudara, dan satu lagi untuk rumah kami.

Selesai, mama menyuruhku untuk memakaikan celana Tasya. Dan mama kembali meneruskan tugasnya.

“Ut, papa udah pulang belum?” tanya mama.

“Memang kenapa Ma?”

“Motor Papa kan mogok. Makanya mama kira tadi waktu lu pulang itu papa.”

“Gak tau, belum kedengeran suara motornya.”

Tiba-tiba,

“Tin! Tin!” suara klakson motor papa dari arah pintu belakang. Benar saja. Papa pulang sambil mendorong mobilnya. Wajahnya keringatan, dan semakin tampak kelelahan di dalam seragam polisinya yang kesempitan. Papa sudah gendut. Wajar saja kalau kewalahan mendorong motornya, pikir saya.

“Ma, tolong ambilkan casan aki,” suruh papa. Mama langsung mengambilnya di atas lemari perkakas di garasi rumah saudara. Mama Tasya, sudah selesai mandi dan segera mengambil Tasya dari mama. Saya pun langung mengerti, setidaknya dapat membantu untuk membawa masakan ke rumah dan menatanya. Papa datang ke rumah.

“Ut, lu mau pergi gak?” tanya papa. Suaranya masih lelah.

“Iya Uci pergi lagi. Belum selesai kursusnya,” jawab saya.

“Ya udah, kalo gitu lu pergilah sekarang. Pusing papa ngeliat lu belum pergi,” sahut papa. Saya terkejut mendengarnya. Kenapa malah pusing? Mamapun tertawa, menghampiri saya sembari membisikkan bahwa sebetulnya motor mau dipinjam papa untuk beli aki.

“Oh... ngomong dong,” jawab saya sambil tersenyum.

“Udah gak usah. Lu buruan lah selesain tugas lu. Trus langsung pergi. Papa dah bete tuh,” nasihat mama.

“Jadi gak wawancaranya?” saya hanya tersenyum menanggapinya. Sudah ma, tidak perlu. Sepertinya saya sudah mendapatkan sedikit cerita yang dapat saya ketik dalam waktu singkat. []