◄ Vice Versa ►

Tuesday, September 26, 2006

HIKMAH sebuah SALAM

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Itulah kata pertama yang ingin saya sampaikan. Dan Insya Allah akan terus saya sampaikan. (Semoga kita bisa membiasakannya). Saya pernah mencoba merenungkannya. Berapa kali dalam sehari saya mengucapkan kata itu. Selain pada saat setelah shalat lima waktu. Hasilnya, astaghfirullah, jarang banget! Padahal, itu adalah salah satu tiket masuk surga.

10 September 2006.

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Kata ini sering kita dengar. Pada saat pembukaan pidato, masuk dan keluar ruangan, diskusi, mau menelepon teman, dan banyak lagi. Namun, salam amat jarang diucapkan kala kita bertemu dengan sesama muslim. Hm, setelah dipikir-pikir, dari diri saya sendiri, keengganan untuk mengucapkannya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, saya takut dibilang sok-sok an alim (padahal kita tidak dapat mengukur tingkat keimanan kita seperti apa, kan?). Kedua, saya merasa tidak kenal orang itu, buat apa saya tegur. Ketiga, kok yang muncul malah rasa malu kalo mengucapkannya ya? Keempat, kebiasaan ber-say hello dengan gaya centil, seperti, uy uy, oy oy, yey what’s up yow! (Waduh! Sok hiphop banget!). Kelima, dan saya pikir sebagian besar dari kita mengalami ini, yaitu enggak pernah kepikiran! Kita malah biasa mengucap met malam, kulonuwon, punten, permisi om (hehe, gak penting!).

Hgh! Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah...
Kok bisa ya, salam aja gak kepikiran. Setelah saya renungkan lebih jauh lagi, rasa enggak kepikiran itu ternyata ada penyebabnya juga. Yaitu saya tidak pernah berusaha membiasakannya. Coba kalo biasa, pasti kalo enggak mengucap salam akan janggal rasanya. Seperti makan nasi tanpa lauk. Hm, atau sayur tanpa garam. Atau pake sepatu gak pake kaos kaki. Pokoknya gak lengkap, deh! Penyebab lainnya adalah saya, kita, belum menyadari keajaiban dibalik kata salam.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwasanya ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw: Bagaimanakah Islam yang baik itu?” Beliau menjawab, “Yaitu mau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang belum kamu kenal.” (HR. Bukhari Muslim).

Loh, kok belum kenal dah disalam-salamin? Hm, mungkin justru karna belum kenal itulah Islam menganjurkan untuk mengucap salam. Yang gak kenal jadi kenal, yang udah kenal jadi lengket, deh.

Seperti yang disampaikan Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, ”…Maukah kamu sekalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu mengerjakannya maka kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kamu sekalian”. (HR Muslim).

Sudah pasti kita semua ingin mencintai dan dicintai. Dan hanya dengan salam kita bisa melakukan dua hal itu sekaligus. coba bayangkan, hanya dengan salam saja kita bisa saling cinta, bagaimana bila kita melakukan kebaikan yang lainnya? Tentunya lebih saling cinta lagi. Dan yang timbul dari itu semua adalah kedamaian. :)

Dari sekarang, yuk, kita sama-sama membiasakan diri. Mulai dari diri sendiri dulu. Baru kita bisa membantu muslim lainnya, saling mengingatkan.

Kalau saja salam itu disebarkan oleh wajah penuh senyuman, dihayati dan diresapi sebagaimana Abbas Assisi menyampaikan dalam surat-surat kepada sahabat-sahabatnya: Salaam Allah ‘alaika wa rahmatuhu wa barakaatuh. Sungguh damai dan nyaman, jika salam kita sampaikan sebagai ta’abbudan (ibadah) dan mahabbah (kecintaan), bukan sekedar kebiasaan. Salaam Allah yaa Akhwatii wa Ikhwatti, ya khalilii, wa rahmatuhu wa barakatuh. (Semoga Allah memberikan kedamaian, kasih mesra dan barakahNya untukmu saudaraku, sahabatku).

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh!
(Sumber inspirasi: Al Quran, Internet, Buku)