Sabtu pagi, aku masih berkutat di pekerjaan biasa. Bangun, sholat subuh, sarapan pagi, di depan komputer, sambil ditemani suara tivi. Masih belum mandi, tadi aku cuma cuci muka dan gosok gigi. Udara dingin, tapi aku paksakan hidupkan kipas angin untuk mengusir nyamuk-nyamuk iseng, yang lebih hebat dan rajin daripada manusia. Mereka sanggup begadangan, dan pagi-pagi sudah cari penghasilan. Bedanya, begadangan-nya mereka tidak buat ceking badan, tapi justru buat gemuk, sampai-sampai mereka jalan di kulit tanganku, tak sanggup terbang. Plok! Aku reflek, darah nyamuk yang baru saja mati jadi melekat di tanganku. Aku perhatikan lebih dekat, tidak ada garis hitam-putihnya. Aman, pikirku, walau tangan jadi bentol.
Udara sudah mulai menghangat. Aku melakukan sedikit peregangan badan, olahraga kecil-kecilan. Rumah sepi. Adik pergi ke kampus duluan. Ayukku masih asyik berselimut. Papa kerja, dan mama berkunjung ke rumah mbah di sebelah. Aku menghidupkan gosokan, mau gosok kerudung. Sebentar lagi aku mau ke kampus, melihat pengumuman, mencari data, dan membereskan komputer di Teknokra. Banyak janji yang musti ditepati, dan aku bertekad untuk melunasinya segera, sebelum aku mati.
Entah kenapa kejadian kemarin masih saja teringat di benakku. Sampai-sampai semalam aku mau tidur saja sulitnya bukan main. Ternyata selama beberapa bulan ini aku telah melakukan kebodohan. Seorang sahabat mengingatkanku, “penyakit hati, Cay!” Subuh tadi aku berdoa, semoga Allah segera melenyapkan perasaan ini, karena benar, ini namanya penyakit hati. Selepas tilawah aku bisa sedikit tenang. Aku yakin, Allah menciptakan hambaNya dalam bentuk yang berbeda-beda. Manusia tinggi karena ilmunya, dan keimanan adalah kasat mata kecuali tersirat dari perilakunya. Aku benci dengan mereka yang memandang dari pantulan panca indera yang memiliki kemampuan terbatas. (Jadi ingat kata-kata seseorang).
Aku memang belum apa-apa. Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa Allah demikian Maha Baiknya, sehingga seorang Uchy bisa berdikari (berdiri di kaki sendiri), hingga saat ini. Dan topeng menjadi begitu bersahabat. Saat sedih dan menangis, topeng bahagia dan senang selalu kukenakan. Hanya saja, ketika ini kuceritakan kepada sahabatku, betapa kerasnya usahaku untuk ‘mengenakan’ topeng ini, sahabatku tertawa. Dia bilang, “iya, tapi topeng yang ente pake itu transparan!” Aku ikut senyum mendengarnya. Ada benarnya.
Sinar matahari mulai masuk rumah lewat ventilasi kawat belakang rumah. Tandanya sudah siang. Gosokan pun sudah panas. Mandi air dingin pasti bisa jadi terapi. Aku tersenyum. Melupakan kebodohan bukanlah suatu kebodohan. Tapi mengingat kebodohan bisa jadi merupakan langkah bijak. Banyak hikmah dari semua kejadian, ini hikmah terbesar bagiku. Menjadikan seseorang sahabat tanpa dia tahu, mencintai dia tanpa dia sadar, dan mengagumi dia tanpa dia paham, adalah sesuatu yang menurutku murni. Dulu, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Muhammad Saw, “aku mencintainya.” Lalu Rasul bertanya, “apakah dia tau?” Dijawab, “tidak.” Rasul berseru, “kalau begitu sampaikanlah padanya.” Suatu saat nanti, aku akan menyampaikannya, dengan cara yang tidak biasa.
Ujung 69, 22/06/07, 09:43.
◄ Vice Versa ►
Wednesday, July 25, 2007
Labels
Blog
(2)
catatan perjalanan
(14)
Curhat
(12)
demokrasi
(5)
Donald Trump
(1)
Download
(2)
Facebook
(1)
Filsafat
(1)
Hadist
(3)
hukum syara
(3)
ideologis
(7)
info bayi
(3)
Irena Handono
(1)
Islam
(37)
Kapitalisme
(4)
Kesehatan
(1)
Kuliah
(2)
Media
(3)
Muslim Music
(2)
Muslimah Negarawan
(1)
Muslimah Peduli Negeri
(1)
My Design
(1)
My Family
(2)
Nafsiyah
(1)
pendidikan
(1)
Privacy
(1)
Sejarah
(4)
Sosial
(1)
Teknokra
(1)
Tsaqofah
(4)
0 comments:
Post a Comment