Pemuda Islam, anak zaman millinneum ke tiga, punya tantangan berat betul. Mereka dihantui kenyataan serbasulit dan selaksa ganjalan. Sebut saja perang lahir batin melawan konsumerisme, egoisme, tuduhan generasi instant plus flower generation model baru. Khafilah model begini menghamba setia hedonisme penyilau hati. Coba simak salah satu kosmetiknya.Tayangan orkes di TV yang getol sampai malam. Benar-benar rajin! Saat hari khan berganti, layar kaca diisi sensualitas meliuk-liuk dan musik menghentak. Visualnyapun nggakmain-main, penuh kemewahan, emas dan platina sampai ke gigi artisnya. Paling menggoda, dancer bertubuh ramping bagai dewi kahyangan penghuni surga.
Itukah efek modernisasi?
Tunggu dulu! Warisan primitif tak mau ketinggalan set. Mereka sama-sama pede dengan melenggang di layar kaca. Oh seramnya melihat si Fulan menggelinjang dan berkeringat. Ia lantas disembur mbah dukun, bertingkah sebentar kemudian black-out. Sahibul hikayat, arwah mbah Fulan merasuki raganya. Sehabis iklan, masuk tayangan azimat berbagai fungsi, batu keramat atau memperbesar vital lewat cara ajaib. Lewat komentar dari mulut ke mulut dan promosi sekadarnya, semuanya jadi populer dan bergandengan mesra dengan budaya pop.
Soal kekerasan juga mesti masuk hitungan. Masih soal tayangan TV, berbagai kisah ajaib-tragis melanda ibu pertiwi. Anak bunuh ibu, tetangga berlaku asusila pada anak di bawah umur. Belum lagi kejadian konyol, santap mayat demi kedigdayaan. Yang pasti, serbuan psikologis ini menumbuhsuburkan klenik, amarah, penyempitan cakrawala sampai ketumpulan berpikir.
Ingin sekali menjerit dalam bahasa Sunda, hayu atuh brangus sisi negatif si Kabayan yang malas, mbah Jamrong yang bau menyan atau jawara lenong yang gampang marah. Kedah direformasi euy… Padahal untuk survive, generasi muda Islam wajib beli tiket, masuk ‘taman bermainnya’ kaum intelektual. Punya kejernihan hati dan tak berlaku kasar. Mereka (idealnya) adalah kaum yang bergegas, kasak-kusuk bedah buku, diskusi dan tetap menyuburkan semangat ijtihad dalam tindakan analytical minded .
Jika butuh panutan tak perlu (dulu) ‘lompat pagar’ mencari Bill Gates si multi biliuner atau The Master Of Deal, Donald Trump. Kalau bisa sih, jangan dulu sowan ke otaknya Stephens Hawkins. Tak ada salahnya menggali-korek ‘dapur sendiri’ para pengharum sejarah Islam ratusan tahun yang lalu.
>>
Coba bersilaturahmi dengan Ibnu Haitam, warga Basra 965 M dan meninggal di Kairo tahun 1039 M. Beliau, hebat betul! Ahli matematika,astronom,filsuf dan pakar optika. Lewat tulisan-tulisan besarnya, Maqayah fi Hayat al Alam (astronomi), Fi Al Minasit (optika), Maqayah fi Daw al-Qamar (cahaya dan gerak-gerik langit), Fi Surah Al Kusuf (kamera obsura/kamar gelap) dan bejibun karya spektakuler lainnya. Di dunia Barat, ia bernama Alhazen, Avennathan atau Avenetan.
Jangan puas dengan Alhazen. Silakan sowan pada Ibnu Sina yang oleh ilmuwan barat dipanggil Avicena. Ia sejaman Haitam, hidup antara 980 M sampai 1037 M. Berbagai gelar besar disandangnya, mulai dokter, filsuf,ahli fisika, geometri, metafisika dan ulama besar. Umur 17 tahun, si jenius ini sedah menjadi dokter Istana dan bertanggung jawab penuh atas kesehatan Nuh Bin Mansur, penguasa Dinasti Samaniah. Semua karya Ibnu Sina jadi literatur wajib bagi fakultas kedokteran di Eropa. Ada karya, Asy-Syifa (penyembuhan), Al Qanun fi at-Tibb (Peraturan dalam kedokteran). Bukunya, Al Magest tentang Astronomi,dianggap spektakuler karena mengkritik pandangan Aristoteles tentang kesamaan bintang-bintang tak bergerak dan kesamaan kesatuan jarak. Dalam Asy Syifa ia bilang, bintang-bintang yang tak bergerak berada dalam satu globe.
Soal Ijtihad (jahada), Ibnu Sina bisa dianggap pakar, karena cerdas mendalami masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat Al qur’an untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya. Berkaca pada hamba Allah masa lalu memang penting.
Muhammad Husein Heikal, filsuf dan pakar hukum misalnya sudah mewanti kita jauh hari. “Jika terus-terusan menumbuhsuburkan hal yang tak rasional, kita bakal terus-terusan sasaran empuk orientalis Barat untuk mendeskriditkan Islam. Nanti bakal melahirkan intisari kontraproduktif." “Atheisme dan logika adalah sebuah Ijtihad (aktif) sedangkan keimanan disamakan dengan Jumud (pasif).” Padahal tuduhan tadi sekaligus dicounter Al Quran 41:53 : Akan segera Kami perlihatkan bukti-bukti Kami dalami segenap penjuru alam. Dan dalam diri mereka sendiri hingga ternyata bagi mereka bahwa inilah kebenaran itu. Belum cukupkah bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segalanya…
Selain gambaran Qur’an tentang ijtihad dan jumud tadi, Imam Ghazali bilang, kerangka ideal muslimin dan muslimat harus tetap dalam pelukan keaktifan berpikir (Ijtihad). Dalam bahasanya, “Sebelum menerima paham, seseorang harus membebaskan diri dari segala konsepsi, lantas berpikir dan menimbang kembali untuk membuat perbandingan”. Lanjut Ghazali: “Lalu diberikan argumentasi, diuji dan dianalisis. Dari semua itu Insya Allah, akan dituntun pada kesimpulan bahwa Islam itu benar!” Perjalanan rohani Ghazali, perlu dicontoh untuk menghasilkan keimanan yang tangguh. Pencapaian keimanannya dicapai melalui jalan Ijtihad hingga pribadinya terbebas dari Khilafiah dan terhindar dari hal bersifat Taklid. Karena Ghazali juga mempraktekkan metode perbandingan, tak salah kalau kita juga membandingkan argumentasi Ghazali dengan ahli lain.
Yang pantas berkomentar adalah Syaikh Muhammad Mustafa Al Maraghi yang sudah berpulang. Beliau rektor Univ. Al-Azhar yang secara transparan menilai Logika v.s jumud yang sering ditimpakan pada muslimin. “Metode dakwah berisi ilmu retorika yang dijalankan Rasulullah, sesuai dengan metode ilmiah orang modern sekarang.” Buktinya: Dalam metode ilmiah objek dibebaskan dari prejudice (prasangka), pandangan hidup, kepercayaan yang sudah ada dalam diri (konteksnya penyelidikan). Lantas mulai dengan observasi dan eksperimen. Mengadakan perbandingan sistematis kemudian lahir silogisme berdasar premis tadi. Jika sudah disimpulkan maka akan dibahas dan dianalisa ulang. Langkah seperti ini diangap runtut pikir terbaik dan belum ditemui tandingannya dalam kebebasan berpikir. Bukan kebetulan, cara inilah yang dipakai Nabi ratusan tahun lalu.
Bukti otentik ada dalam Al Quran yang mewahyukan, rasio harus selalu jadi juru penengah, Sedang dasar ilmu adalah pembuktiannya. Al Quran mengecam sikap menghujat, meniru atas dasar prasangka semata. “Dan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran.. (Q.S 53 :28)” Mudah-mudahan, gambaran yang tak bisa kadaluarsa ini jadi acuan pemuda Islam kita. Tak lagi mengujat, menuduh atas dasar prasangka. Tapi menjadi khalifah-khalifah yang cerdik, welas asih dan ahli memperdayakan akal sebagai pemberian Allah yang paling berharga.
Kalau begitu adanya, tak akan masuk akal jika intelektual muda bergelar terhormat (baca: mahasiswa)sampai merusak kampus meluapkan amarah sepele. Apalagi itu dilakoni mahasiswa Islam di bulan Ramadhan.Masya Allah!
0 comments:
Post a Comment