◄ Vice Versa ►

Monday, April 18, 2016

Optimalisasi Peran Media dalam Memenangkan Proxy War

oleh Uchy Gizhel*

Pada sebuah acara[1] di Sentul, Bogor pada 27 Februari 2016, Panglima TNI KSAD Gatot Nurmantyo mengingatkan tentang proxy war sebagai ancaman nyata bagi Indonesia. KSAD mengingatkan ancamannya telah menyerbu seluruh lini kehidupan bernegara, berbangsa, bahkan hadir di tengah kehidupan keluarga kita.[2]

Ancaman itu seperti demo anarkis buruh, tawuran pelajar dan mahasiswa, adu domba TNI-Polri, upaya memecah belah parpol, rekayasa sosial dengan memanfaatkan media, dan maraknya penyalahgunaan narkoba. KSAD mengingatkan semua itu sudah didesain dan dikendalikan dari luar oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) dengan memanfaatkan orang dalam. Sehingga tidak disadari, bahwa bangsa ini sedang menuju kehancuran.

Pada 10 Maret 2014, Universitas Indonesia dalam Kuliah Umum yang bertajuk "Peran Pemuda dalam Menghadapi Proxy War" disebutkan beberapa bentuk kondisi jika Indonesia telah menjadi bahan proxy war:[3]
  1. Menjadikan Indonesia menjadi pasar produk pihak asing; 
  2. Menghambat perkembangan SDM dan teknologi Indonesia agar kalah saing di mata global;
  3. Pihak asing melakukan investasi besar-besaran di Indonesia; 
  4. Menciptakan kelompok teroris di Indonesia; 
  5. Memecah belah pemuda Indonesia dengan budaya konsumtif. 
Definisi Proxy War
Proxy war (perang proksi) itu sendiri adalah sebuah konfrontasi antardua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti. Hal ini untuk menghindari konfrontasi secara langsung agar mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko kehancuran fatal.
Definisi lain proxy war adalah suatu bentuk perang memperebutkan pengaruh ekonomi dan politik di suatu negara tanpa keterlibatan langsung negara yang melakukan agresi [Jean Tirole, profesor ekonomi di Universitas Toulouse, pemenang Nobel Ekonomi]. Proxy war merupakan tahap lanjut dalam perang modern. Aktor-aktornya adalah korporasi multinasional, lembaga internasional, dan negara-negara besar.[4]

Biasanya, pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa nonstate actors yang dapat berupa LSM, ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan. Melalui proxy war ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan nonstate actors dari jauh.[5]

Penyebab Sesungguhnya Proxy War di Indonesia

Tentu bukan tanpa alasan dan bukti seorang Gatot Nurmantyo menyampaikan hal tersebut. Namun, penting untuk diketahui, ideologi yang sesungguhnya memporakporandakan Indonesia tidak lain adalah kapitalisme dengan pemikiran-pemikiran pokoknya. Yaitu sekularisme, demokrasi, liberalisme, HAM, pluralisme. Perlu ditegaskan pula, negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan sekutunya adalah pelaku langsung imperialisme yang mengusung kapitalisme ini.[6]

Imperialisme adalah politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasai. Yang dimaksud menguasai disini, pada era penjajahan kuno dilakukan dengan kekuatan militer, mengambil alih dan menduduki satu wilayah, serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara ini secara umum sudah ditinggalkan, sebab menimbulkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah, karena penjajahan itu bisa dilihat secara kasat mata.

Maka, penguasaan atas suatu wilayah itu akhirnya dilakukan melalui kontrol dan menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum, dan hankam. Namun, tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara yang menguasai dan berpengaruh. Wilayah yang dijajah tetap dijadikan sebagai sumber kekayaan baik bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar.

Upaya neoimperialisme atau penjajahan modern dilakukan melalui apa yang disebut oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai skenario perang modern. Perang modern ini tidak menggunakan hard power (militer dan senjata) tetapi menggunakan soft power, bahkan smart power.

Negara-negara kaya sumber daya alam (SDA) menjadi sasaran perang modern. Perang modern itu dimainkan dan dikendalikan negara-negara maju yang memiliki naluri sebagai agresor. Dilancarkan untuk memuluskan kepentingan nasional mereka terutama terkait dengan aspek ekonomi negara agresor.
“Penghancuran negara secara sistematis menjadi konsep perang modern, khususnya terhadap negara-negara yang memiliki SDA kaya untuk kemudian ditaklukkan dan dikuasai,” katanya.
Berbeda dengan perang konvensional, perang modern murah meriah dengan efek lebih dahsyat karena dapat menghancurkan semua sendi. Perang modern dilancarkan melalui sejumlah tahapan.

Tahap pertama adalah infiltrasi lewat jalur intern, militer, pendidikan, politik, media massa. Di samping itu juga ada eksploitasi dan adu domba melalui pembentukan opini, penciptaan sel-sel perlawanan hingga gelar provokasi. Tahap berikutnya, adanya kegiatan cuci otak dengan mengubah cara berfikir dan paradigma, mengubah nilai-nilai yang ada ke nilai-nilai asing. Setelah itu tahap perang modern memasuki aksi penghancuran, pelemahan, dan penguasaan yang dilakukan melalui operasi intelijen hingga konfrontasi. Tahap terakhir adalah sasaran direbut dan dikuasai.

Sepuluh tahun lalu, diyakini tahapan perang modern telah dijalankan di Indonesia. Tahapan itu dimulai dari infiltrasi, operasi intelijen, politik adu domba, cuci otak, invasi, cuci tangan, dan dipuja-puji sebagai penegak hak asasi manusia dan demokrasi setelah berhasil.

Demokrasi, secara politik, telah menjadi pintu munculnya pemimpin-pemimpin pronegara imperialis. Lewat pencitraan yang dibangun oleh media-media liberal, pemimpin boneka ini muncul sebagai pemenang dalam pemilu. Apa yang terjadi? Setelah memimpin, pemimpin boneka ini mengabdi 100% bagi kepentingan tuan Kapitalis yang telah mengangkatnya, bukan kepada rakyat. Maka, tidaklah mengherankan jika kebijakan-kebijakannya justru menyengsarakan rakyat.

Pintu demokrasi juga melahirkan UU yang memihak para pemilik modal, terutama perusahaan negara-negara imperialis. Berbagai UU sarat dengan liberalisme penopang pemilik modal asing, seperti UU kelistrikan, sumber daya alam, migas, perbankan, dan perdagangan. Tujuannya untuk melegalkan 'perampokan' terhadap kekayaan alam Indonesia.

Sementara itu, senjata HAM juga digunakan secara politik untuk melakukan upaya disintegrasi Indonesia. Lepasnya Timor Timur dengan alasan hak menentukan nasib sendiri lewat jalan demokrasi (referendum) telah menjadi bukti nyata, begitu efektifnya HAM digunakan memecah belah Indonesia. Ancaman disintegrasi yang nyata pun sudah di depan mata, seperti upaya separatisme Papua, Aceh, Kalimantan, dan Maluku. Alasan yang paling kuat dan sering digunakan adalah HAM.

Secara sosial, HAM juga digunakan untuk menghancurkan kebudayaan, struktur sosial, dan keluarga negeri ini. Lihatlah begitu masifnya kampanye LGBT yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi komprador Barat. Didukung oleh media-media sekuler dan intelektual yang terbodohkan dengan liberalisme Barat.

Tidak ketinggalan, orang-orang tertentu dengan dalil agama yang dipelintir dengan harga yang murah untuk melegalkan homoseksual dan lesbian yang jelas-jelas dikutuk dan dilaknat Allah dan RasulNya. Alasan yang paling sering mereka gunakan apalagi kalau bukan HAM. Tidak ada yang lain.

Lucunya, pelaku dan pendukung HAM ini memposisikan sebagai pihak yang dizhalimi, ditindas, didiskriminasi. Padahal mereka didukung oleh perusahaan-perusahaan kapitalis besar dunia seperti Apple, Starbucks, Google, Facebook, eBay, Nike.inc, Gap, Microsoft, Instagram dan Mastercard, yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat. Obama pun secara terbuka mendukung LGBT dan menekan pihak manapun yang antiLGBT. PBB menggelontorkan dana yang besar bagi kampanye LGBT. Facebook tidak ketinggalan, menjadi diktator media yang baru dengan menghapus akun-akun yang antiLGBT.

Ini pulalah yang menjadi indikasi bahwa fenomena kemunculan LGBT di Indonesia sebetulnya bagian dari proxy war untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer. Oleh karena itu, fenomena pendukung LGBT yang meminta komunitasnya dilegalkan itu wajib diwaspadai. Jika melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan. Berbeda dengan proxy war ini.

Media sebagai Senjata dalam Proxy War

Proxy war masa modern menggunakan teknologi internet menjadi senjata [Pakar Pertahanan Yono Reksoprodjo]. Dalam perang dingin, Amerika Serikat menciptakan internet sebagai strategi perang untuk melawan Uni Soviet. Hanya saja semenjak itu internet terus berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan internet kini dimanfaatkan untuk berkomunikasi.

Semakin sering internet digunakan dalam berkomunikasi, maka perang modern sedang berlangsung tanpa diketahui. Perang informasi menjadi perang asimetri yang berada di depan mata untuk dihadapi masyarakat.[7] Untuk menghadapi perang modern ini, peran jurnalistik menjadi penting. Bukan lagi bentuk pertahanan dari aparat keamanan.

Di Balik Kekuatan Media Massa


Media massa dari waktu ke waktu dengan berbagai latar kepentingan telah terbukti menjadi pilar utama sebuah perjuangan. Perjuangan kemerdekaan Indonesia, perjuangan kafir Inggris-Prancis-Amerika dalam mencerabut kesatuan umat dari naungan Khilafah Islamiyah sekaligus menghancurkannya. Pun bagi perjuangan menerapkan syariah dalam naungan khilafah Islam yang kedua, media massa menjadi poin sangat penting yang tidak bisa diabaikan.

Harus disadari, media massa sebagai penghantar sampainya opini kepada masyarakat, sebagian besar dikuasai oleh Yahudi dari sisi ideologi maupun saham. Protokol ke-12 gerakan Zionis menyatakan bahwa, "media massa dunia harus berada di bawah pengaruh kita."

Theodore Hertzl (wartawan dan novelis Yahudi berskala internasional), peletak dasar Gerakan Zionisme Internasional, dalam konferensi di Swiss tahun 1897 pun mengatakan, "kita akan berhasil mendirikan pemerintahan Israel dengan memanfaatkan dan menguasai fasilitas propaganda dunia dan media massa dunia."

Iqbal Shadiqi, pemimpin redaksi majalah terbitan Inggris, Cressent International menyatakan media-media AS sangat bergantung kepada para investor dan orang-orang Zionis. Kedua kelompok inilah yang mengontrol pemerintah dan media AS.

Penguasaan Yahudi terhadap media massa bisa terlihat dari fakta banyaknya kantor-kantor berita yang dikuasai atau menjadi corong mereka. Misalnya: Reuters (Inggris) yang dibentuk Julius Powell (Yahudi), AFP (Perancis) dan AP (AS), ABC yang Dirut Pelaksananya Leonard Goldenson dan Direktur Entertainment-nya Stuart Bloomberg (Yahudi), CBS yang didirikan William S. Paley (Yahudi Rusia), juga Fox News yang didirikan Rupert Murdoch (Yahudi Australia) pada 1996.

Rupert Murdoch menguasai 300 saluran televisi, 3 penerbit buku (HarperCollins, ReagenBooks, dan Zondervan Christian Publisher). Seluruh perusahaan Murdoch melayani 3/4 penduduk bumi. Murdoch punya kuku di ratusan suratkabar di Australia, Fiji, Papua New Guinea, Inggris, dan AS. Murdoch menguasai jaringan BSkyB di Inggris, Sky Italia, Sky Amerika Latin, Foxtel Australia, DirectTV Group Amerika Utara dan Latin, serta Star TV untuk wilayah Asia.

Industri film pun tidak luput dari kekuasaan Yahudi, yang arus utamanya dipegang Hollywood. Di sana bercokol perusahaan film besar dunia sekelas 20th Century Fox, Walt Disney, dan Paramount Picture.

Bagaimana dengan Indonesia? Cengkeraman kuat Yahudi ternyata juga terjadi di media massa negeri ini. Melalui penguasaan saham, suplai konten media[8], jalur Konsultan Media seperti yang terjadi di Jawa Pos Grup yang mendaulat John Moon dari AS pro-Yahudi sebagai konsultan di sana, juga iklan (klien iklan mudah mengendalikan konten media massa).

Dengan penguasaan media massa yang demikian lengkap dan luas, musuh-musuh Islam mampu menggulirkan ide dan opini yang mengaburkan bahkan membalik kebenaran Islam, terkait masalah:
  1. Penerapan syariat Islam dan gambaran khilafah Islam (dimonsterisasi);
  2. Masalah nasionalisme dan sektarianisme;
  3. Pejuang-pejuang syariat Islam (kriminalisasi, isu teroris, dsb).
Pengaburan di atas berhasil menggiring umat, bahkan kaum muslimin menjadi fobia dengan Islam dan mencukupkan diri melaksanakan syariat Islam secara individual. Umat Islam yang harusnya tampil sebagai umat terbaik, menjadi lemah akibat opini sesat yang tersebar di berbagai media.

Sehingga, harus disadari bahwa media massa berperan besar dalam memunculkan dan menumbuhkembangkan proxy war dan perang pemikiran selama ini. Baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya proxy war hanyalah imbas dari tidak diterapkannya sistem Islam secara kaffah.

Terkait proxy war ini, Hizbut Tahrir Indonesia, berulangkali mengingatkan bahkan berkampanye secara masif, sesungguhnya musuh nyata Indonesia adalah Kapitalisme dengan pemikiran pokoknya sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Penjajahan ini dipimpin Amerika dengan menggunakan penguasa-penguasa boneka yang mengabdi pada tuan Kapitalisnya.

Hizbut Tahrir juga mengingatkan agar menghentikan segala bentuk kerjasama dengan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Karena merekalah pendukung kapitalisme dan gembong kejahatan di dunia Islam termasuk Indonesia.

Peran Pejuang Dakwah dalam Mengoptimalkan Media

Sangat penting untuk disadari akan besarnya peran media dalam proxy war dan perang pemikiran ini. Bila kekuatan senjata harus dihadapi dengan kekuatan senjata, pena harus dihadapi dengan kekuatan pena, maka kekuatan media juga harus dihadapi dengan kekuatan media.

Media, seiring dengan perkembangan teknologi, berpengaruh besar pada penggiringan cara pandang manusia terhadap kehidupan. Maka, banyak peluang untuk menyebarkan opini Islam melalui media massa. Bahkan, di saat dunia yang saat ini berada dalam cengkeraman Kapitalis dan Yahudi sekalipun.
Sasaran utama bagi pejuang dakwah dalam memanfaatkan media massa, haruslah berorientasi kebangkitan. Pejuang dakwah harus turut terlibat dalam perang propaganda via media, baik sebagai penyokong maupun pelaku langsung. Media harus dijadikan sebagai sarana dakwah untuk memperluas jangkauan penyebaran ideologi Islam, membentuk opini dan kesadaran umum di tengah umat, meng-counter ide-ide sesat, dan mampu menggalang dukungan umat.
Selain itu, pejuang dakwah harus senantiasa menggali dan memahami lebih jauh bagaimana kelak Media Khilafah bisa memiliki kekuatan berimbang, bahkan menjadi pemenang dalam menaklukkan kesesatan dan kemungkaran peradaban kufur, hingga Islam dapat menjadi rahmatan lil 'alamin.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengoptimalkan media massa, yakni dengan melakukan kontak dengan orang-orang media, membuat komunitas penulis/wartawan/media massa Islam untuk nantinya bergerak bersama berlandaskan dorongan ideologi, dan membuat/menyebarkan media dan opini Islam (paling besar peluangnya melalui dunia maya).

Banyak 'profesi' yang bisa dijalani dan diberdayakan melalui media massa. Seperti penulis lepas, blogger, public speaker (penceramah, trainer, host, presenter), berbagai profesi jurnalis (kamerawati, reporter, editor, dsb), sutradara, editor video/buku, desainer grafis, web developer, web designer, dlsb.
“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang tidak kalian ketahui sedangkan Allah mengetahuinya.” [TQ.S. Al-Anfal: 60].
Sepatutnya ayat tersebut menginspirasi para pejuang dakwah untuk menggunakan wasilah apapun untuk bisa mengalahkan musuh Allah SWT, tak terkecuali media massa. Diharapkan para pejuang dakwah memiliki kemampuan untuk senantiasa meng-upgrade kualitas diri baik itu fikriyah, nafsiyah, pun keahlian yang menunjang tercapainya tujuan perjuangan: isti’nafiil hayatal Islam, melalui penegakan syariah dan khilafah.

Media Massa pada Masa Khilafah
Kala media menjadi senjata, maka tak ada jalan lain selain menjadikan diri pejuang dakwah sebagai perwira. Hingga Allah percayakan kemenangan ada di genggaman, media akan tetap mempunyai andil besar untuk menjaga kelestarian hukum Allah di muka bumi melalui institusi Khilafah Islam.
Media massa (wasâ’il al-i’lâm) bagi negara Khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992: 140).

Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. (Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilâfah, pasal 103).

Mengingat fungsi strategis ini, dapat dimengerti mengapa Hizbut Tahrir dan para ulamanya menaruh perhatian serius dalam masalah ini. Karena itulah, dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (2005: 143), Hizbut Tahrir telah menambahkan satu departemen terkait media massa dalam struktur negara Khilafah, yaitu Departemen Penerangan (dâ’irah al-i’lâm).

Para ulama Hizbut Tahrir juga terus memikirkan dengan serius bagaimana pengaturan media massa kelak dalam negara Khilafah. Syaikh Ziyad Ghazzal adalah salah satunya. Beliau telah menulis kitab setebal 77 halaman dengan judul, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003).

Dalam kitab tersebut, digambarkan betapa baiknya suasana dan kehidupan media massa yang ditata dengan syariah di negara Khilafah nantinya. Media massa akan menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, tanpa melarang unsur hiburan (entertainment) yang sehat dan syar’i.

Khilafah Islam-lah nanti yang akan mengawasi media secara utuh dan konsisten, sehingga umat terlindungi dari virus ideologi dan akhlak. Pornografi, fun yang kebablasan, berita hasud, dan pentas seni yang absurd akan menghilang berganti dengan tontonan yang selalu mampu men-charge akal dan iman. Dan, tidak akan lama lagi, Insya Allah. Aamiin.

Wallahu a’lam bish showwab.

[1] Acara pembekalan yang disampaikan kepada 100 calon Kader Amanat Utama PAN (Partai Amanat Nasional) di Sentul Bogor, Sabtu (27/2)

[2] http://hizbut-tahrir.or.id/2016/03/11/peringatan-penting-panglima-tni-proxy-war/

[3] https://www.selasar.com/budaya/pengertian-proxy-war

[4] http://hizbut-tahrir.or.id/2015/05/10/neoimperialisme-ancaman-besar-negeri-ini-penguasaan-oleh-asing-dan-ketergantungan-kepada-asing/

[5] http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/07/28/31919/kasad-jend-tni-gatot-saat-ini-zaman-proxy-war-alias-perang-boneka-know-your-enemy

[6] Farid Wadjdi

[7] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nznnef282-internet-jadi-senjata-dalam-perang-proxy

[8] kantor berita internasional menyuplai informasi ke media massa dengan cara langganan berbayar atau production house negara kapitalis mensuplai konten acara televisi maupun radio diantaranya dengan sistem lisensi

0 comments: