◄ Vice Versa ►

Wednesday, June 16, 2010

Dakwah Tanpa Kekerasan

Oleh: MR Kurnia

Hakikat Dakwah Tanpa Kekerasan

Masyarakat laksana air yang ada dalam gelas. Ketika gelas berisi air kotor, maka agar kita dapat menikmati air bersih, mestilah airnya diubah; bukan dengan memecahkan gelasnya, melainkan dengan mengganti airnya. Buang air yang kotor, lalu diganti dengan air yang bersih. Begitu juga ketika melakukan perubahan masyarakat.

Mengubah masyarakat bukanlah menghancurkan masyarakat, melainkan mengganti sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada zaman Nabi saw., rumah, pasar, maupun kebun pada masa Jahiliah sama dengan pada saat Islam diterapkan. Bahkan, orangnya pun tidak berbeda. Misalnya, Umar pada masa Jahiliah sama dengan Umar pada masa Islam, Abu Sufyan pada masa Jahiliah sama dengan pada masa Islam. Yang berbeda hanyalah keyakinan dan tolok ukur kehidupannya. Berbagai suku di Jazirah Arab pada masa Islam sama dengan suku-suku pada waktu Islam masih lemah.

Bedanya, aturan yang diberlakukan pada berbagai suku dan bangsa tersebut pada masa Jahiliah adalah aturan buatan logika dan nafsu manusia, sedangkan pada saat Islam kuat mereka dihukumi oleh aturan Islam. Karena itu, mengubah masyarakat berarti mengubah isinya, yakni mengubah kepribadian anggota masyarakat, pemikiran masyarakat (baik terkait dengan akidah maupun syariat), perasaan masyarakat, dan sistem (nizhâm) yang mengatur berbagai interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Pada saat perubahan masyarakat dimaknai sebagai perubahan seperti itu, maka yang harus diubah adalah pemikiran, perasaan, dan sistem masyarakat. Dulu, Nabi saw. dan para sahabat melakukan hal ini. Misalnya, masyarakat Arab yang tadinya meyakini Tuhan itu banyak diubah menjadi meyakini hanya satu Tuhan (tauhid); yang tadinya merasa bahagia ketika berhasil membunuh bayi perempuan diubah menjadi merasa berdosa ketika melakukan perbuatan tersebut; yang tadinya memaklumi adat mengurangi takaran saat berjual-beli diubah menjadi meninggalkannya; ikatan kekabilahan (kesukuan) yang selama ini menjadi pengikat masyarakat diubah menjadi ikatan ideologi Islam; berbagai hukum buatan manusia yang diberlakukan di tengah-tengah mereka diganti dengan hukum Allah Swt.

Setelah semua ini berhasil, maka sistem lama dikalahkan oleh sistem yang baru. Jadilah sistem kehidupan Jahiliah berganti dengan sistem kehidupan Islam. Pemerintahan Islam diproklamirkan di Madinah al-Munawwarah. 

Hukum Islam diterapkan secara total.

Perubahan dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam seperti ini meniscayakan terwujudnya dua hal, yaitu:

1. Pembentukan opini umum yang didasari oleh iman pada Islam serta kesadaran kolektif atas wajibnya terikat dengan Islam; menerapkannya, mewujudkan negara yang menerapkannya, serta melindungnya.

2. Pewujudan kekuatan atau kekuasaan yang mampu menerapkan Islam, melindungi penerapannya, dan memungkinkannya untuk menyebarkan dakwah ke seluruh dunia.



Kedua hal tersebut merupakan fokus perjuangan Islam; merupakan fokus pertarungan dengan kekufuran, sistemnya, dan para penjaganya; juga merupakan penciptaan kesadaran kolektif, penciptaan atmosfir penerapan Islam, serta persiapan untuk menegakkannya. Tidak mungkin memproklamirkan perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat Islam atau perubahan masyarakat Jahiliah apapun menjadi masyarakat Islam sebelum terwujud opini tentang itu sekaligus kehendak memperjuangkan dan mendukungnya. Mewujudkan semua itu meniscayakan adanya pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), bukan perjuangan fisik dan kekerasan. Sebab, kekuatan fisik akan menghasilkan penghancuran masyarakat, sedangkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik akan melahirkan perubahan masyarakat yang diinginkan.

Dari sini dapat dipahami betapa hebat langkah Rasulullah saw. yang menjadikan perjuangan dakwahnya tanpa kekerasan sebagai metode untuk mengubah masyarakat. Perjuangan atas dasar pergolakan pemikiran dan perjuangan politik itulah yang merupakan hakikat dakwah tanpa kekerasan.

Saat Islam telah memiliki kekuatan politik berupa pemerintahan, maka persoalan perubahan masyarakat dari Jahiliah menjadi masyarakat Islam telah selesai. Sebab, kini sudah terbentuk masyarakat Islam. Fase berikutnya adalah menerapkan Islam. Pada fase ini berbagai hambatan fisik menghadang. Untuk menghancurkan hambatan fisik tersebut diperlukan kekuatan fisik yang seimbang bahkan lebih besar. Di situlah perjuangan fisik diperlukan melalui jihad; bukan untuk mengubah masyarakat dan bukan pula dalam konteks perubahan masyarakat, melainkan untuk menghilangkan dan merobohkan berbagai hambatan fisik yang berupaya menghalang-halangi tegaknya sistem Islam, bahkan menghancurkannya.

Dalam kerangka itulah dapat dipahami, mengapa setelah memiliki negara di Madinah, Rasulullah saw. bukan hanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, melainkan juga diizinkan bahkan diperintahkan menggunakan senjata, yakni berjihad.

Perubahan Masyarakat Tak Boleh dengan Kekerasan

Rasulullah saw. diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan Jahiliah menuju cahaya Islam. Ketika itu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang diatur oleh hukum kufur dan keamanannya ada pada tangan kaum kafir. Beliau dan para sahabatnya hidup di darul kufur. Metode perjuangan Nabi saw. dalam mengubah masyarakat saat itu menjadi masyarakat Islam di Madinah amatlah jelas. Beliau melakukannya dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik sekaligus mensterilkan perjuangannya itu dari kekerasan fisik dan angkat senjata. Apakah karena tidak ada tantangan bersifat fisik? Bukan.

Bagaimanapun beratnya siksaan kaum kafir terhadap para sahabatnya, betapapun jumudnya masyarakat terhadap dakwah yang beliau serukan, dan walaupun kadangkala sebagian sahabat menghendaki penggunaan kekuatan fisik, tetap saja hingga menjelang tegaknya pemerintahan Islam di Madinah beliau tidak melakukan tindak kekerasan/angkat senjata. Hal itu bukan karena tidak bisa, tidak mampu, ataupun tidak mau, melainkan karena Allah Swt. melarangnya. Nabi saw. tidak melakukannya karena saat itu memang belum Allah Swt. perintahkan.

Tatkala pada Baiat Aqabah II sebagian sahabat menyampaikan keinginannya untuk menggunakan kekuatan fisik, beliau mengatakan, “Lam nu’mar bi dzâlik (Kita belum diperintahkan demikian).” (Lihat: Sîrah Ibnu Hisyâm). Pernyataan ini menegaskan sikap beliau bahwa mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat islami harus dilakukan tanpa menggunakan kekerasan fisik. Bahkan, Allah Swt. melarang kaum Muslim di Makkah melakukan kekerasan fisik dalam mengubah masyarakat. Allah Swt. berfirman:

Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut lagi dari itu. (QS an-Nisa’ [4]: 77).

Imam Jalalain dalam tafsirnya mengomentari ayat ini, bahwa ketika di Makkah, ada sebagian sahabat yang menginginkan perang karena mendapatkan tantangan fisik, namun Allah Swt. melarangnya (yang artinya): “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shlat, dan tunaikanlah zakat!” Barulah ketika di Madinah Allah Swt. memerintahkan mereka menggunakan senjata/melakukan jihad. Hal senada dijelaskan juga oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa metode perubahan masyarakat dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam dilakukan melalui pergulatan pemikiran dan perjuangan politik minus kekuatan senjata. Ancaman-ancaman fisik yang diterima beliau dan para sahabatnya tidak dihadapi dengan kekuatan senjata. Metode perlindungan terhadap ancaman tersebut hanyalah dengan thalab an-nushrah (menggalang dukungan/pertolongan).

Thalab an-nushrah dilakukan oleh Nabi saw. dalam rangka dua hal, yakni:

1. Untuk melindungi dan menangkal siksaan supaya beliau dan para sahabat bisa menyampaikan risalah dan menyeru manusia ke jalan Allah dalam suasana tenang.

2. Agar mereka menyerahkan kekuatan dan kedudukan yang mereka miliki untuk mewujudkan tegaknya Daulah Islamiyah.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam bukunya, Zâd al-Ma’âd, menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi saw. tinggal selama sepuluh tahun mendatangi orang-orang di tempat peristirahatan mereka pada berbagai musim. Beliau juga menemui mereka di Pasar Ukadz. Beliau menyatakan, “Siapa saja yang melindungi aku dan menolongku hingga aku menyampaikan risalah Rabb-ku maka baginya adalah surga.”

Untuk tujuan kedua, beliau mendatangi Bakar bin Wail saat ia menunaikan haji, Amir bin Sha’sha’ah, Bani Syaiban, juga para pemimpin Madinah.

Perbuatan dan nash-nash di atas menunjukkan cara beliau mengubah masyarakat. Pada waktu kekuasaan ada di tangan orang kafir dan para pengemban dakwah dalam keadaan lemah, Rasulullah saw. tetap berpegang pada pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Perubahan darul kufur menjadi Darul Islam beliau lakukan tanpa kekerasan. Kekerasan yang menghadang dihadapi hanya dengan thalab an-nushrah.

Pada saat ini kondisi umat Islam sama dengan kondisi saat Nabi saw. di Makkah. Sekalipun individunya mayoritas Muslim, tetapi masyarakatnya bukan masyarakat Islam. Negeri-negeri Muslim saat ini merupakan darul kufur sekalipun penduduknya Muslim. Sebab, aturan dan keamanannya bukanlah berasal dari Islam. Aturannya berasal dari Kapitalisme-sekular, dan keamanannya berada dalam genggaman negara besar, khususnya Amerika. Pemikiran, perasaan, dan aturannya pun tidak lahir dari akidah dan syariat Islam. Karena itu, perubahan masyarakat dewasa ini haruslah meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah saw. ketika beliau berdakwah di Makkah, yaitu melalui pergolakan pemikiran dan perjuangan politik tanpa kekerasan senjata (kekuatan fisik). Menyimpang dari metode ini berarti menyimpang dari metode Rasulullah saw. dalam menegakkan Daulah Islam, yang hanya akan bermuara pada kegagalan.

Dampak Kekerasan

Penggunaan kekerasan dalam menghadapi dan mengalahkan kekuatan batil serta dalam mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat islami mengandung dampak yang tidak kecil. Uang, senjata, pasukan, pers, peralatan, dan berbagai lembaga-lembaga kemiliteran maupun lainnya ada di tangan para penguasa yang tidak menghendaki Islam. Apa yang bisa dibangun secara mandiri sangatlah kecil dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh para penguasa dan negara yang menentang Islam; jauh dikatakan seimbang.

Dakwah dengan kekerasan juga akan menimbulkan dampak negatif lainnya, yakni munculnya opini yang mengepung para pelaku dakwah yang benar dengan memojokkannya sebagai pelaku keonaran. Siapapun tidak ada yang dapat menghalangi sistem/rezim kufur mengebom berbagai kota dan menghancurkan penduduknya jika sistem/rezim itu merasakan bahaya Islam. Semua itu dilakukan dengan dorongan dan pengerahan seluruh sistem negara. Apa yang terjadi di Afganistan, misalnya, merupakan bukti kongkret.
Konfrontasi fisik militer menjadikan para pengemban dakwah memerlukan dukungan keuangan, pasukan, dan keahlian militer yang terus-menerus demi mengatasi kelemahan dan meningkatkan kemampuan. Untuk memenuhi hal itu, dicarilah orang yang memberikan bantuan dana. Ketika ada orang yang datang, terbukalah jalan setan untuk melegalisasi apa yang tidak ada landasannya secara syar’i. Setan akan menggerakkan agen-agennya yang berpura-pura sebagai orang yang berpegang pada agama, menawarkan ‘bantuan’, melakukan infiltrasi, radikalisasi, provokasi, aksi, dan jatuhlah dakwah pada perangkap stigmatisasi.

Penggunaan kekerasan fisik akan mengalihkan konfrontasi pemikiran dan politik menjadi konfrontasi fisik. Padahal hanya dengan fokus pada pergulatan pemikiran dan politiklah akan tersingkap kesesatan negara kufur, para pembesarnya, kebohongannya, kezalimannya, pengkhianatannya, dan rencana-rencana jahatnya atas Islam dan kaum Muslim. Konsistensi hal ini melahirkan kesadaran dan kekuatan politik masyarakat. Inilah pintu gerbang perubahan menuju tegaknya syariat dan kekuasaan Islam.

Berbeda dengan itu, konfrontasi kekuatan fisik sangat mungkin dimenangkan oleh negara kufur beserta para pengikutnya. Sebab, perimbangan kekuatan fisik amatlah jauh. Opini umum yang tegak di atas kesadaran umum, atmosfir tegaknya syariat Islam, dan kesadaran masyarakat pun akan melenyap. Yang dimunculkan dan dipropagandakan mereka adalah sifat kekerasannya itu. Kondisi demikian akan menjadikan masyarakat makin jauh dari dakwah dan perjuangan Islam.

Sekalipun Allah Swt. menjelaskan, sering golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak (QS al-Baqarah [2]: 249), tidak berarti penggunaan kekerasan dalam perubahan masyarakat tidak mengapa. Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak mencontohkannya.

Ringkasnya, mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat yang menegakkan Islam secara kâffah haruslah dilakukan dalam wujud pertarungan pemikiran dan perjuangan politik, bukan dengan kekuatan fisik. Inilah metode yang dicontohkan Nabi saw. Janganlah kaum Muslim terperosok ke dalam jebakan yang hendak mengalihkan konfrontasi pemikiran dan politik menjadi konfrontasi kekuatan fisik.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

0 comments: