Imunisasi Anak Cara Islam


Judul : Imunisasi Anak Cara Islam:


Melindungi Fisik, Akal, dan Mental Anak Secara Menyeluruh dan Syar’i
Penulis : Ahmad Syarifuddin
Penerbit : Tiga Satu Tiga, Sukoharjo
Edisi #1 : Jumadil Ula 1430 H | Mei 2009
ISBN : 978-979-17178-2-3
Tebal : 204 hal; 20,5 cm

Pada tahun 2003 pernah terbit sebuah buku berjudul “Yang Orangtua Harus Tahu tentang Vaksinasi pada Anak” (Gramedia Pustaka Utama). Konon karena kontroversial, buku itu kini sulit didapat di pasaran. Ia memuat informasi yang mengejutkan tentang vaksinasi yang tidak pernah ditemukan pada media informasi apapun. Jika selama ini vaksinasi adalah suatu keharusan untuk dilakukan pada anak-anak kita dan diklaim aman bagi kesehatan mereka, maka buku itu justru mengatakan “Dalam hal vaksinasi anak, mencegah mungkin tidak lebih baik daripada menyembuhkan.”


Betapa tidak? Beberapa vaksin, tulis buku karya Stephanie Cave, M.D. bersama Deborah Mitchell itu, mengandung racun seperti air raksa (merkuri), aluminium, dan formalin. Beberapa vaksin dibuat dari jaringan manusia dari janin yang digugurkan, disamping menggunakan bahan-bahan haram lainnya. Perancis pada 1998 telah menghentikan program imunisasi dengan pemberian vaksin Hepatitis-B pada anak-anak sekolah karena kasus multiple-sklerosis yang terjadi pada mereka telah dikaitkan dengan vaksin itu. Sejak tahun 2000, Amerika telah menghentikan pemberian vaksin polio oral (tetes mulut) dan diganti dengan suntikan, karena terbukti justru menimbulkan hingga 10 kasus polio per tahun dan dituding menyebabkan gangguan serius pada sistem pencernaan, terutama penyumbatan usus. Anehnya, Indonesia justru masih gencar melaksanakan vaksinasi polio oral ini!

Mengingat betapa riskannya pemberian imunisasi, khususnya dengan cara vaksinasi yang ternyata mengandung potensi bahaya yang tidak pernah kita tahu sebelumnya ini – entah kerusakan yang ditimbulkan maupun keharaman mengkonsumsinya, maka perlu dicari model imunisasi yang lebih baik untuk anak-anak kita. Pada konteks inilah tepat kiranya kehadiran buku karya Ahmad Syarifuddin ini. Buku itu berjudul “Imunisasi Anak Cara Islam: Melindungi Fisik, Akal, dan Mental Anak Secara Menyeluruh dan Syar’i” (IACI).

Syarifuddin menawarkan – atau lebih tepatnya ‘mengenalkan’ kembali — konsep Imunisasi Islam yang komprehensif (holistik), yang meliputi tubuh (motorik), akal (kognitif), dan jiwa (afektif) dalam IACI. Tidak saja fisik tetapi juga psikis. Tidak hanya jasmani, tetapi juga ruhani. Imunisasi holistik ini sudah ada dalam nash Al-Qur’an dan sunnah nabawiyyah, dan praktiknya bahkan telah menjadi tradisi para ulama dan orang-orang shaleh dari zaman ke zaman (hal 14).

Menariknya, buku ini dibuka dengan mengajak kita mengenal setan sebagai biang-kerok segala kejahatan terhadap anak Adam di muka bumi. Betapa tidak, bahkan di hadapan Allah swt. Iblis, raja segala setan, telah bersumpah: “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Q.S. Shaad: 82). Maka iblis dan bala tentara setannya akan datang kepada setiap manusia, dari depan, belakang, kiri, dan kanan. Umur mereka ditangguhkan hingga hari Kiamat datang. Mereka bisa melihat manusia dan tidak sebaliknya, serta bisa menggunakan media dan sarana apa saja untuk menyesatkan kita. Mereka terdiri dari bentuk jin dan manusia – yang jauh lebih berbahaya. Mereka adalah musuh abadi manusia hingga akhir zaman.

Pengantar ini memberi penegasan bahwa setan tidak lain merupakan tertuduh di balik setiap kejahatan dan kedurhakaan di atas bumi. Mereka adalah promotor, provokator, sekaligus sang teroris pada setiap peristiwa dan kasus kerusakan anak-anak manusia (hal 30).

Cara pandang inilah yang kemudian membedakan antara imunisasi ala kedokteran Barat dan imunisasi ala Islam. Dalam khazanah kedokteran Barat, imunisasi dilakukan dengan cara vaksinasi, yakni memasukkan vaksin ke dalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan terhadap penyakit, infeksi, atau virus tertentu. Misalnya, vaksin cacar, campak, polio, hepatitis, tetanus, perkusis, dan sebagainya. Sedangkan imunisasi dalam Islam dikenal dengan istilah at-tamni’ atau at-tahshin. Sejarahnya bisa dirunut sejak Nabi Ibrahim as. mengimunisasi putranya, Nabi Ismail dan Ishaq dari tiga hal mendasar, yakni serangan setan, serangan hama, dan serangan ain (pandangan mata jahat).

Dari sini jelaslah perbedaan mendasar antara kedua jenis imunisasi itu. Jika Barat hanya berfokus pada penjagaan fisik semata, maka Islam menekankan pentingnya imunisasi baik aspek fisik maupun lebih-lebih mental-psikis. Komprehensif. Holistik, dengan penjagaan dari serangan setan (psikis, jiwa) menjadi fokus utama (hal 53). Menghadapi setan dari jenis manusia, kita harus luwes dan fleksibel untuk mencegah keburukannya. Sedangkan menghadapi setan dari kalangan jin dapat dilakukan dengan jalan istiadzah, yakni memohon perlindungan kepada Allah swt. dari waswasah (bisikan jahat), hamz (hembusan jahat), dan lams (sentuhan jahat) dari setan. Inilah intisari petunjuk Allah swt. pada Q.S. Fushshilat: 34-36 (hal 60).

Istiadzah inilah yang kemudian menjadi inti buku IACI ini. Tak kurang 60% bagian dari buku ini digunakan Syarifuddin dengan sangat detil untuk memaparkan bagaimana imunisasi secara Islam dengan istiadzah dilakukan, mulai dari saat memproduksi anak, anak dalam kandungan, ketika masa kelahiran, serta dalam masa tumbuh kembang mereka. Penjelasan itu dilengkapi pula dengan bagaimana imunisasi para tokoh panutan Islam terhadap anak-cucu mereka yang kemudian menjadi tradisi salafush-shaleh. Tidak heran jika kita temukan dalam paparan penulis buku Menyambut Umur 40 Tahun (Nashiril Haq) ini satu tradisi para orang tua terdahulu melarang anak-anak keluar sewaktu maghrib tiba (hal 142). Ternyata hal tersebut ada sangkut-pautnya dengan upaya imunisasi berdasarkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. “Tahan dan kekanglah anak-anakmu sehingga berlalu awal dari kegelapan waktu isya’, saat ketika setan-setan bangkit bersama menyebar.” (H.R. Bukhari)

Dari sisi fisik, Syarifuddin menekankan pentingnya memberikan ASI eksklusif pada bayi, memberi makanan yang bergizi (thayyib) dan halal, mengkonsumsi air yang bersih, serta menjaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat tinggal mereka (hal 136). Kaitannya imunisasi dengan cara vaksinasi, maka mencegah anak-anak dari vaksin yang haram, menurut Syarifuddin, adalah sebuah keharusan. Karena bagaimanapun, haram adalah bagian dari tipu-daya setan, dan hal ini justru kontraproduktif terhadap usaha mulia kita dalam melindungi anak-anak, menjadikannya sia-sia, dan bahkan kita malah harus menanggung dosa. Khusus tentang vaksinasi ini, Syarifuddin menyertakan pada bagian akhir buku sebuah tulisan dari dr. Farida Megalini, seorang dokter umum dan herbalis, tentang bagaimana sebaiknya bersikap bijak terhadap vaksinasi.

Waakhiran, kelebihan buku ini, sebagaimana buku-buku Syarifuddin yang lain, adalah pembahasannya yang komprehensif, tuntas, dan pilihan topiknya yang disamping sangat menarik, juga sangat penting diketahui kaum muslimin. Upayanya mengangkat (kembali) imunisasi cara Islam patut dihargai di tengah maraknya proyek imunisasi dengan vaksinasi dengan vaksin yang masih diragukan kehalalan serta keamanannya saat ini. Kalaupun ada kekurangan, hal itu hanya ada pada layout halaman yang sedikit kurang rapi atau cetakannya kurang tajam pada beberapa halaman saja.

Semoga anak keturunan kita menjadi generasi yang diberkahi, sebagaimana doa Imam al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad yang dicantumkan Syarifuddin pada pembuka buku ini,

اَللّهُمَّ بَارِكْ فِى أَوْلاَدِيْ وَلاَتَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْهُمْ لِطَاعَتِكْ وَارْزُقْنِيْ بِرَّهُمْ
Ya Allah, berkahilah anak-anakku. Jangan Engkau timbulkan mudharat pada mereka. Beri mereka taufiq untuk mentaati Engkau. Dan karuniakan padaku bakti mereka.

Wallahu a’lam.

Sumber artikel: http://bahtiarhs.net/2009/06/kembali-kepada-imunisasi-holistik-ala-islam/