◄ Vice Versa ►

Saturday, December 19, 2009

Goresan Sederhana di Petang yang Menyirna

Apakah sesulit itu tuk berubah? Bahkan kau tak berpikir, maka kau pun tak ada! Begitu menurut ungkapan terkenal di jagad raya. Ingat kau berujar, "berubah itu tak sesederhana yang kamu pikir. Butuh banyak tenaga dan waktu tuk prosesnya. Jadi, buang jauh-jauh kata mutiaramu itu, karena yang ku butuhkan sekarang adalah sebuah kehangatan sahabat, bukannya seorang pen-diagnosa mentalitas bertaraf bawah. Seperti kamu, yang seolah ingin menunjukkan dirimu berada di tingkatan priyayi dan kiai."

Ya, kau marah. Kau benar di semua, tapi salah fatal di satu hal. Itu bukan kata-kata mutiara ala Kahlil Gibran, beib. Itu adalah kata-kata dan hikmah suci dari Sesuatu yang Belum Mau Kau Taati. Kemudian, kau pergi dengan sembrono. Meninggalkan kami dengan hawa dingin bumi. Ya, kini tinggal aku dan kesendirianku.

Sejenak ku termenung. Ingin ku menangis, tapi buat apa, jika diam saja sudah merupakan ratapan paling pedih! Cemoohan yang kau lontarkan seakan mengunci semua ruang gerak dan napasku. Dengan lemah ku berdiri, 'tuk pulang dan berharap esok pagi, hatimu kan berganti menjadi kupu-kupu emas di padang ilalang.



===
Hari berganti, kita bertemu di tempat yang sama. Tubuhmu makin kumal dengan balutan baju penuh koyakan.

"Mana baju putih yang kuberi kemarin?" tanyaku.

"Kau memberi baju yang mudah terkotori. Sudah ku duga kau tak benar-benar ikhlas memberikannya padaku," tangkasnya.

"Maksudnya?" ku tak terima dengan jawabannya. "Ku tanya padamu, apa kau bisa baca hatiku? Se-rela apa jiwaku memberikan baju itu? Apa kau mengerti? Bahkan berterima kasih pun kau tak mampu!" Ujarku emosi. Dia menyeringai. Terlihat jelas kerak kuning di giginya.

"Ya, kita sama saja. Kau bahkan tak mendengar hatiku mengucapkan terima kasih atas pemberian itu."

Lalu dia mulai duduk di tepi jalan, tempat favorit kami, dahulu, tempat mengamati dan saling menasihati. Dia menunduk, dan dia mulai menangis yang untuk pertama kalinya ku lihat pakai mata kepala. Sesegukannya membuat hati malu, ku saja tak mampu tuk mengeluarkan air mata.

"Eee, maaf, saya terlalu emosi. Ku pikir aku punya baju lain yang bisa kau pakai."

Dia menggelengkan kepalanya dan mulai mengusap pipinya yang banjir air mata. "Dengan cara apa lagi ku harus bercerita denganmu? Ku tak butuh bajumu! Ku tak butuh diagnosamu! Ku tak butuh uangmu!" Matanya menatap tajam menusuk, dia berhasil membuatku gemetar kali ini. Tiba-tiba dia berdiri dengan cepatnya, dan lagi-lagi pergi dengan seenaknya.

===

Ada yang salah dengan diriku, ujarku. Tapi apa ku salah memberikan baju, uang, dan mencurahkan diagnosa yang kuketahui tentangnya? Bukankah sebaik-baiknya kalimat adalah Kalamullah? Kalimat Allah Yang Maha Agung? Bukankah sebaik-baiknya tauladan adalah Rasulullah? Lalu kenapa ku tak pernah berhasil MERANGKULMU, kawan?

Dalam perjalanan pulang, lunglai seperti biasa, ku niatkan tuk menjauhimu sementara, walau ku tak sanggup dan ku yakin ku takkan bisa. Akhirnya ku menangis karena niat itu. "Ya Allah, hanya Engkau Sebaik-baiknya Penolong!" doaku.

Sesampai di rumah, ku hamparkan sajadah, penuh harap dan cinta ku bersujud di atasnya. "Beri aku petunjuk, Ya Rabb!"

Seketika ku bangkit, dan melihat tiba-tiba kawanku berdiri depanku. Khas dengan gigi kuning dan pakaian koyaknya. Dia tersenyum! "Semoga Allah segera memberikan petunjuk dan pertolongannya pada kita semua."

Dan betapa terkejutnya aku! Karena selama ini, aku berbicara, bercerita, DENGAN CERMIN YANG ADA DI HADAPANKU!

Ya, dia adalah AKU!

==
"Ya Allah, maafkanlah segala khilaf dan dosa. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penerima Taubat, amin!"

Dengan tangis dalam pinta, Zetya Hardez
19 Desember 2009
17:45 WIB

0 comments: