◄ Vice Versa ►

Tuesday, May 01, 2007

Antitesa Fitrah

(Kutipan dari tulisan di diari kenangan dan unek-unek pikiran)

Di ujung petang di sebuah ruangan luas namun sempit. Ramai namun sepi.

Keadaan ekonomi makin semrawut. Pengangguran makin banyak karena lulusan universitas tak bisa mendapat pekerjaan secara langsung, dan bahkan pihak kampuspun tidak bisa menjamin lulusannya mampu mempertanggungjawabkan nilai-nilianya.

Saat menjadi mahasiswa, yang berkitaran di kepala hanyalah kata ‘idealisme’ yang musti ‘diperjuangkan dan diraih’. Karna itu mau tak mau banyak orang yang berusaha untuk mencari tau dan sok tau akan makna idealis.

Sama bodohnya dengan mereka! Orang-orang yang mengaku berideologis sosialis, tapi planga-plongo ketika ditanya apa itu ideologi. Ada lagi yang mengaku antikapitalis, tapi pakai baju merek prada, sepatu nike, dan tiap bulan bolak balik luar negeri dengan alasan menghemat cari barang murah gak buat sakit dompet. Ada juga yang ngakunya cinta alam, tapi teriak-teriak serampangan, buang puntung rokok sembarangan, mabok-mabokan, bahkan buang karet bekas sampah lengket gak kenal juntrungan! Yang lebih bodoh lagi, ngaku Islam tapi sholat aja enggan, perilaku di luar al-Quran, pemikiran sekuler dengan alasan toleransi beragama. Sucks!

Kemuakanku tidak berhenti sampai di situ. Kegeraman tidak bisa reda, sampai-sampai gigi geraham atas menyatu dengan yang bawah. Tangan mengepal, menahan emosi atas orang-orang berpikiran setan. Mereka tertawa, tanpa peduli ada yang sakit hati di ujung sana. Mereka menggebrak meja –sambil terus tertawa- mengejek orang-orang yang berusaha mencari jati diri dan mencapai puncak pengetahuan tentang Tuhan. Mereka terus-terus-terus tertawa hingga air mata keluar dari mata merah berkepala tanduk makhluk berapi. Mereka gitar-gitaran, terus, sambil mengepul-ngepulkan asap rokok yang sama sekali tiada harum baunya dan menyesakkan dada dan kepala, seperti tidak mendengar suara adzan berkumandang, hingga adzan berikutnya. Ketika diperingatkan, mereka malah bilang, "cari iman jangan di sini!"

Dan mereka terus beringasan! Merasa bangga bersahabat erat dengan dosa. Bahkan kebo di sawah pun lebih pintar, jika lelah mereka beristirahat, duduk, diam, tenang, dan berdzikir. Tapi mereka tidak! Terus saja mencaci, menghardik, mengatai, seakan tidak sadar bahwa tubuh dan mulut-mulut itu suatu saat akan mati terkunci, untuk kemudian hidup kembali.

Suatu saat, keadaan akan berbalik. Dimana mereka akan diam seribu bahasa, dan sadar bahwa mereka bukanlah apa-apa. Kemudian menangis menyesali dosa. Bertobat. Memohon ampun atas segala dosa dan khilaf. Menuntut ampun dan maaf. []

-pertengahan April-

0 comments: